Chapter 1 - An Unexpected Goodbye

"Everything can be taken from a man but one thing: to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way." -Viktor E. Frankl, a survivor of the Holocaust

English Version 

It was hard to digest for me at first - probably since I was only 7 years old. My mum was enthusiastically and carefully checking that her name was still on the list on the Microsoft Excel document displayed on her Windows XP laptop, not magically disappearing somehow. I never knew that one single document was going to change my life - my family's life - forever. She was crying with joy.



You see, I was just a little boy who just arrived from a tiring day at school, and I couldn't think why on earth she was so happy all of a sudden.

After a few whoops and cheers, and saying 'Thank You' to God, my mum explained about how she had been trying to get a scholarship abroad (outside of Indonesia), and that document shows all students, from undergraduates to PhD level, that successfully received a scholarship to whatever country they wished to study in. 

In this case, my mum got hold of a scholarship to go to the UK.

The scholarship, my mum explained, was a scholarship to study PhD abroad (that is the final degree/level of a university). Our visa would last about four years, from 2010 until 2014. A scholarship covers everything - tuition fees, living cost and spending money as well. As far as I was concerned, we were going to stay in England. For four to five years.

The 'wait-what-now' expression on my face was clear.

Then my mum says, "But Fawwaz, you needn't to worry about all that - all you need to worry about is to learn how to speak English and make some friends there."

Eh?

After I let what she just said sink into my little brain - and only after she said that I panicked and thought:

'What if the country that I'm about to enter would be so different that I wouldn't be able to adapt at all? What if everyone there spoke English (duh!) and I was the only one that couldn't speak English, and what if I couldn't make a single friend there?' The thought of leaving my close childhood friends from my SDIT (primary school) behind and not being able to communicate with them again (EVER!) filled my mind. And as a result, I started crying.

It wasn't long before people in my school received news about me leaving them. My teachers were very sad, and my close friends did not want me leaving SDIT Annida. Before school I would arrive a good 30 minutes early so I could play basketball, football or other kinds of minigames with my friends.


After school, my classmate, who lived very close to the school, often invites me and a few others to play his own PS1 console while waiting for our parents. He had a collection of games in the 'fighting' genre, which we all liked.

Those three years in my primary school were what I called the good old days. I missed it very much, even now.

A few days later, my mum was ready to go to the UK. My little sister and I said our goodbyes as we watched her dragging a large suitcase on the Adisutjipto Airport, Yogyakarta. I knew that it was going to be my turn to fly to the unknown other side of the world, one year later.

Indonesian Version

Pada awalnya, itu sulit dicerna bagi aku - mungkin karena aku baru berumur 7 tahun. Ibuku secara antusias dan hati-hati memeriksa bahwa namanya masih ada di daftar pada sebuah dokumen Microsoft Excel yang ditampilkan pada laptop Windows XP nya, tidak ajaib menghilang entah bagaimana. Aku tidak tahu bahwa satu dokumen akan mengubah hidupku - kehidupan keluargaku - selamanya. Ia menangis dengan sukacita.

Waktu itu, aku hanya seorang anak kecil yang baru saja tiba dari hari yang melelahkan di sekolah, dan aku tidak bisa berpikir kenapa ia begitu bahagia tiba-tiba.


Setelah beberapa sorak-sorai, dan berkata 'Terima Kasih' kepada Tuhannya, ibuku menjelaskan tentang bagaimana ia telah berusaha untuk mendapatkan beasiswa ke luar negeri (keluar Indonesia). Dokumen tersebut yang ditampilkan oleh laptop itu menunjukkan semua siswa, dari tingkat S1 sampai tingkat PhD, yang berhasil menerima beasiswa ke negara apapun yang mereka inginkan untuk belajar.


Dalam hal ini, ibuku berhasil meraih beasiswa untuk pergi ke Inggris.


Beasiswa yang ibuku mendapatkan, ibuku menjelaskan, adalah beasiswa untuk belajar PhD luar negeri (yang adalah gelar/tingkat akhir dari sebuah universitas). Visa kami akan bertahan sekitar empat tahun, dari 2010 sampai 2014. Beasiswa mencakup semua keperluan - biaya kuliah, biaya hidup dan uang belanja juga. Yang aku pikirkan, kami akan tinggal di Inggris. Selama empat sampai lima tahun.


Bingung di ekspresi wajah saya jelas.


Kemudian ibuku berkata, "Tapi Fawwaz, kau tidak perlu khawatir tentang semua itu - yang kau perlu memfikirkan adalah belajar bagaimana berbicara bahasa Inggris yang baik dan membuat teman-teman di sana."


Eh?


Setelah aku membiarkan apa yang ia hanya berkata tenggelam dalam otak kecil saya - dan hanya setelah dia mengatakan hal itu aku panik dan berpikir:


'Bagaimana jika negara yang aku akan memasuki akan sangat berbeda bahkan saya tidak akan mampu beradaptasi sama sekali? Bagaimana jika semua orang di sana berbicara bahasa Inggris (duh!) Dan aku adalah satu-satunya yang tidak bisa berbahasa Inggris, dan bagaimana jika aku tidak bisa membuat satu teman saja disana?' Pikiran tentang meninggalkan teman-teman masa kecilku dari SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) dan tidak bisa berkomunikasi dengan mereka lagi (!) memenuhi pikiran saya. Dan sebagai hasilnya, saya mulai menangis.


Tidak lama sebelum siswa-siswa di sekolahku menerima berita tentang saya. Guru-guru ku sangat sedih, dan teman-teman dekatku tidak ingin aku meninggalkan SDIT Annida. Beberapa hari sebelum aku harus pergi ke Yogyakarta aku tiba 30 menit lebih awal sebelum sekolah sehingga aku bisa bermain basket, sepak bola atau mainan lain-lainnya dengan teman-temanku.


Setelah sekolah, teman sekelasku, yang tinggal sangat dekat dari sekolah, sering mengajak aku dan beberapa teman lain untuk bermain konsol PS1 sambil menunggu orang tua kita. Dia memiliki koleksi game di genre 'pertempuran', yang kita semua menyukai.


Tiga tahun di SDIT-ku adalah masa yang paling baik berbandingan dengan lima tahun di Inggris, atau hari-hari yang lainnya. Aku sangat merindukan masa itu, bahkan sekarang.


Beberapa minggu kemudian, ibu saya sudah siap untuk pergi ke Inggris. Adikku dan aku mengucapkan salam perpisahan ketika kami menyaksikan ia menyeret koper besar di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Aku tahu bahwa selanjutnya ia akan menjadi giliranku untuk terbang ke sisi dunia lain yang belum diketahui olehku, satu tahun kemudian.

0 komentar: